Jakarta – Kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia masih tergolong tinggi. Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) mencatat pada 2018 ada 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis.
“Jumlah ini lebih banyak dari tahun lalu yang sebanyak 60 kasus dan masih tergolong di atas rata-rata. Kekerasan terhadap jurnalis paling banyak terjadi tahun 2016 lalu (sebanyak 81 kasus), paling rendah 39 kasus pada tahun 2009 lalu,” kata Ketua Bidang Advokasi AJI, Sasmito Madrin, lewat keterangannya, Jumat (5/4/2019).
AJI mengkategorikan kekerasan terhadap jurnalis meliputi pengusiran, kekerasan fisik, hingga pemidanaan terkait karya jurnalistik. AJI menduga kondisi kekerasan yang terus meningkat salah satunya disebabkan lemahnya penegakan hukum oleh aparat kepolisian.
Sebagian kasus kekerasan maupun pemidanaan jurnalis terkait langsung dengan kontestasi politik baik di level nasional maupun di daerah. Kontestasi politik turut mempengaruhi iklim kebebasan pers di Indonesia.
Merespons situasi yang terjadi, dibentuklah Komite Keselamatan Jurnalis yang deklarasinya dilakukan di gedung Dewan Pers, Jumat (5/4/2019) hari ini. Komite diinisiasi dan beranggotakan AJI, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Safenet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesti International Indonesia, serta Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI).
“Secara khusus Komite bertujuan untuk menangani kasus kekerasan jurnalis dengan menyediakan skema pendanaan atau safety fund journalists. Para inisiator dan pendiri komite telah menyusun standard operational procedure (SOP) yang akan menjadi pedoman dalam penanganan dan pencegahan kasus kekerasan jurnalis dan pekerja media agar tidak terulang kembali,” kata Sasmito.
Reporter Sans Frontiers atau Reporter Without Borders, organisasi pemantau media yang berbasis di Paris, pada tahun 2018 menempatkan Indonesia pada peringkat 124 dari 180 negara. Peringkat sama dengan tahun lalu, maka posisi Indonesia ada di papan bawah.
Posisi Indonesia memang masih lebih baik dibanding Filipina (133), Myanmar (137), Kamboja (142), Malaysia (145), Singapura (151), Brunei (153), Laos (170), dan Vietnam (175). Namun, Indonesia ada di belakang Timor Leste yang ada di peringkat 93.
Dalam pemeringkatan yang dilakukan Reporter Without Borders, ada tiga aspek yang menjadi tolak ukur dalam menilai kondisi kebebasan pers sebuah negara. Masing-masing: iklim hukum, iklim politik, dan iklim ekonomi. Iklim hukum menyoroti aspek regulasi sebuah negara terhadap kebebasan pers. Sedangkan aspek politik menyoroti kebijakan yang berdampak terhadap kebebasan pers. Termasuk dalam bagian ini adalah kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media. Iklim ekonomi menyorot lingkungan ekonomi negara yang berdampak pada kebebasan pers.(detik.com)