JAKARTA – Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengatakan pihaknya tengah mendata penyandang disabilitas mental untuk dimasukkan ke dalam daftar pemilih.
Pendataan ini sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XIII/2015. Bahwa, penyandang disabilitas mental diminta untuk didata, sepanjang dia tidak mengidap gangguan jiwa secara permanen dan dikonfirmasi oleh profesional.
“Jadi, setelah [terbit] putusan MK, semua orang harus didata, asalkan dia memenuhi syarat ketentuan dalam undang-undang,” kata Arief di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat.
Adapun syarat pemilih di dalam UU Pemilu, yakni berusia 17 tahun, sudah menikah, bukan TNI/Polri, dan tidak sedang dicabut hak pilihnya. Maka dari itu jika ada warga yang memenuhi syarat tersebut meskipun penyandang disabilitas, maka tetap perlu didata.
Arief mengatakan dalam pendataan itu KPU dibantu oleh pihak terkait. Misalnya lembaga yang menampung para penyandang disabilitas.
Meskipun didata, kata Arief, namun tidak semua penyandang disabilitas bisa menggunakan hak suaranya. Untuk bisa dinyatakan sebagai pemilih harus ada surat keterangan dari pihak dokter yang menerangkan bahwa ia sanggup atau mampu menggunakan hak pilihnya.
Jika dinilai tidak mampu, maka namanya akan dikeluarkan dari data pemilih.
Terkait teknis pelaksanaan pemilihan di TPS, nantinya penyandang disabilitas tersebut bisa mencoblos sendiri di bilik suara. Jika kesulitan, maka bisa juga didampingi oleh orang yang dipilihnya.
“Kalau tidak mampu melakukan pemilihan sendiri, bisa didampingi atas permintaan yang bersangkutan. Silakan dia nunjuk sendiri (pihak yang membantunya),” kata Arief.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai penyandang gangguan kejiwaan tetap berhak mendapatkan dan menggunakan hak pilihnya dalam pemilu.
“Negara dan penyelenggara pemilu harus memenuhi hak seluruh warga untuk memilih dalam pemilu,” kata Titi Anggraini.
Titi menegaskan bahwa syarat warga untuk memeroleh hak pilih dalam perundangan adalah sudah berusia 17 tahun dan/atau sudah pernah menikah, dan tidak mencantumkan syarat kesehatan jiwa.
“Jadi, hak mereka [penderita gangguan mental] harus tetap diberikan,” kata dia. (CNN Indonesia/Net)