SERANG – Usai pengunduran diri Sekda Banten Al Muktabar tertanggal 22 Agustus 2021, Gubernur Banten Wahidin Halim langsung bergerak cepat untuk mencari penggantinya.
Kepala BKD Provinsi Banten, Komarudin menjelaskan bahwa Gubernur Banten telah menunjuk Kepala Inspektorat, Muhtarom sebagi Pelaksana Tugas (Plt) Sekda Banten.
Menurut Kamaludin, Koordinator Presidium NGO Banten, ini dinilai terlalu cepat tanpa melihat dan mengacu pada Perpres No. 3 Tahun 2018 tentang Penjabat Sekretaris Daerah.
Lebih jelas diterangkan Kamaludin, sesuai Perpres itu disebutkan pasal 7 di ayat 1 sudah dituangkan bahwa Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mengusulkan secara tertulis satu calon penjabat Sekretaris Daerah Provinsi kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah dalam negeri, paling lambat lima hari kerja terhitung sejak Sekretaris Daerah Provinsi tidak bisa melaksanakan tugas atau terjadinya kekosongan Sekretaris Daerah Provinsi.
Selanjutnya ia menerangkan, pada ayat 2 hingga 6 diuraikan bagaimana usulan itu dilengkapi dengan dokumen persyaratan dan daftar riwayat hidup, menteri juga akan menyampaikan persetujuan ataupun penolakannya dan juga dijelaskan, bilamana adanya penolakan dari menteri maka gubernur menyampaikan usulan baru penjabat sekda.
Selanjutnya gubernur baru bisa menetapkan penjabat sekda dengan keputusan gubernur sejak diterimanya surat persetujuan menteri yang menyelenggarakan pemerintahan dalam negeri.
Tapi, ungkapnya, mekanisme ini sepertinya tidak terekspose secara baik atau diduga tanpa adanya mekanisme. Tiba-tiba gubernur menunjuk Pelaksana tugas Sekda, itu menjadi pertanyaan besar publik atas regulasi tersebut.
Disisi lain, pun mempertanyakan, terkait pengunduran diri Sekda Banten, Al Muktabar. Apakah sudah diamini dan disetujui oleh menteri terkait atau belum.
“Jadi, semua yang terjadi pada rangkaian pengunduran diri Al Muktabar sebagai sekda hingga penunjukkan penjabat sekda adalah satu rangkaian regulasi yang tidak dapat dipisahkan,” urainya.
Terlepas runmor adanya komunikasi yang tidak sinkron dan terjadi disharmonisasi antara gubernur dan sekda, Kamaludin menilai, hal wajar ketika dimensi politik dan eksekutif berdampingan.
“Wajar saja ya, gubernur adalah jabatan politik, sekda merupakan ASN alias Birokrat tertinggi di provinsi. Ketika ada yang tidak nyambung, ya wajarlah, tinggal bagaimana diantaranya membuat pola sambung rasa dan raga yang kelak bisa harmonis dan berjalan, saat deadlock, ya putuslah,” terangnya.
Dirinya menambahkan, berdasarkan pengamatan selama ini, miskomunikasi antara gubernur dan sekda, ada indikasi terkait program kegiatan pembangunan sport centre.
Disatu sisi, Sekda, Al MUktabar sebagai Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), mengusulkan agar Proyek Sport Centre ditunda dulu mengingat situasinya sedang menghadapi pandemi virus corona atau Covid-19. Dan diharapkan pada fokus di bidang pendidikan dan kesehatan, sementara gubernur menginginkan agar Sport Centre bisa diresmikan pada bulan April 2022, sebelum masa kepemimpinannya berakhir.
“Mungkin gubernur mau meninggalkan monumental penting di masa kepemimpinannya,” pungkasnya.(net/ddhan/muh)