Globalonline – Guna melindungi perempuan dari diskriminasi dan kekerasan seksual seperti pemerkosaan, pelecehan, maupun pernikahan dini, dibutuhkan payung hukum yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Komisioner Komnas Perempuan Magdalena Sitorus mengatakan, dilihat dari kekerasan seksual harus memiliki payung hukum .
“KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) itu terbatas sekali. Pemerkosaan, pelecehan, pencabulan, ternyata makin berkembang,” ujarnya.
Magdalena mencontohkan, salah satunya kekerasan seksual yang dilakukan secara tidak langsung lewat media sosial. Hal ini mendesak adanya peraturan-peraturan baru yang lebih sesuai dengan kondisi saat ini.
“Dulu tidak ada Undang-Undang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Karena kita secara budaya kalau dalam rumah tangga tidak usah diumbar-lah, itu aib, Padahal, kekerasan dan pelanggaran HAM bisa terjadi di ranah publik dan ranah domestik,” katanya.
Magdalena mengatakan, saat ini fenomena kekerasan pada perempuan tidaklah sebatas yang dinyatakan dalam KUHP yang berlaku.
“Dalam KUHP, pemerkosaan apa artinya? Baru dikatakan pemerkosaan kalau terjadi penetrasi penis ke vagina. Padahal pemerkosaan bisa menggunakan alat. Misalnya sampai perempuan meninggal karena memasukkan kayu ke vagina. Ini kan juga kekerasan seksual, Kita mengharapkan ada payung hukum yang secara khusus membicarakan tentang kekerasan seksual. Di mana di dalamnya ada eksploitasi seksual, perbudakan seksual, ada perkawinan anak, seperti itu,”ucapnya.
Selain itu, Magdalena juga mengatakan masih banyak peraturan-peraturan di daerah yang sifatnya masih mendiskriminasi perempuan.
“Kami baru bicara dengan Kemenag (Kementerian Agama), tahun 2018 saja ada lima sampai sepuluh Perda baru yang muncul (yang mendiskriminasi). Dia dibungkus dengan ketahanan keluarga. Ketika bicara tentang ini dia mulai mengatur bagaimana laki-laki dan perempuan, Seringkali peraturan-peraturan semacam ini juga dianggap meningkatkan adanya intoleransi terhadap kelompok-kelompok tertentu,”pungkasnya. (Liputan6.com/Dhan)